FEATURE NGALAB BERKAH, Rasa Syukur Simbol Filosofi Grebeg Sudiro ;”ORA OBAH ORA MAMAH”

SOLO, INFODESANEWS | Senyum sumringah terbit di wajah pemain simbal yang dibalut pakaian khas Tionghoa berwarna merah. Di tengah pertunjukan Barongsai dan Liong dalam acara Grebeg Sudiro pada Minggu (15/1/2023) kemarin siang.

Mereka memainkan alat musiknya dengan rancak. Di depannya sepasang barongsai bergerak dengan lincah sambil sesekali berkedip genit ke arah ribuan penonton yang berjubel memadatikawasan Pasar Gede, Solo.

Boulevard Pasar Gede Solo, tepatnya di Jl. Sudiroprajan, menjelma menjadi lautan manusia. Anak-anak dan orangtua pun membaur bersama ribuan masyarakat yang tengah menonton pertunjukkan tahunan dari masyarakat keturunan Tionghoa – Jawa tersebut.

Kirab yang diawali dengan pasukan Keraton Kasunanan Surakarta dimulai dari Klenteng Tien Kok Sie, yang berada di sebelah Pasar Gede Hardjonagoro, melewati Jl. Jend. Sudirman, RE Martadinata sampai kembali lagi ke Pasar Gede melalui Jl. Urip Sumoharjo.

Di barisan selanjutnya terdapat peserta yang mengenakan pakaian ala film ternama Kera Sakti. Penonton pun ikut bersorak saat si Kera Sakti, Sun Go Kong, melompat kesana kemari dengan membawa tongkat saktinya. Sun Go Kong tak sendiri. Dia ditemani Pat Kay, Biksu Tong, Tong Sam Cheng, serta beberapa perempuan yang berdandan ala dewa-dewi asal negeri Tiongkok.

Menariknya, tak hanya kebudayaan Tionghoa saja yang tumpah ruah dalam kirab Grebeg Sudiro kali ini. Siapapun akan terkagum melihat kebudayaan Jawa yang turut dipertontonkan. Tarian, batik, bahkan pakaian lurik khas Surakarta juga ada di sela-sela pertunjukkan.

Kirab ini tak hanya diikuti oleh masyarakat Kelurahan Sudiroprajan saja, tetapi juga diikuti oleh beberapa kelurahan lain di sekitarnya. Puluhan kelompok peserta kirab dari luar Solo tampil memberikan pertunjukan yang memukau.

Syarat makna filosofi jawa

Kata grebeg berasal dari bahasa Jawa yang bisa berarti bergerak bersama. Istilah ini biasa digunakan dalam acara penyambutan hari-hari besar seperti Kelahiran Nabi Muhammad, Syawal, Idul Adha, dan juga Suro (kalender Jawa).

Exif_JPEG_420

Sedangkan sudiro sendiri diambil dari nama kelurahan Sudiroprajan yang menjadi kawasan pemukiman penduduk Tionghoa di Solo.

Pada dasarnya, perayaan Grebeg Sudiro merupakan ritual perebutan hasil bumi dan makanan yang disusun dalam bentuk gunungan. Tradisi ini sesuai dengan filosofi jawa

“ora obah ora mamah” yang artinya jika tidak berusaha, maka tidak bisa makan.

Sedangkan bentuk gunungan mengandung makna bahwa sebagai manusia sudah sepantasnya bersyukur pada Sang pencipta.

Gunungan yang diarak dalam acara Grebeg Sudiro merupakan perwujudan rasa syukur terhadap dewa bumi.

Berhubung sang empunya hajat adalah etnis Tionghoa, maka isi dari gunungan pun berupa penganan khas seperti kue keranjang, bakpia balong, onde-onde, bolang-baling, gembukan, bakpao, keleman (sejenis arem-arem), serta sayur mayur dan buah-buahan.

Inilah akulturasi kebudayaan Jawa dan Tionghoa yang terlihat nyata. Sebuah gunungan merupakan tradisi jawa untuk sebuah perayaan besar, tetapi kue keranjang dan bakpao adalah makanan khas etnis Tionghoa.

Tak berapa lama arak-arakan gunungan kue keranjang tiba di depan Klenteng Tien Kok Sie.

Warga pun langsung berhamburan menuju gunungan untuk berebut kue keranjang dan makanan lainnya.

Suasana di depan klenteng berubah menjadi begitu riuh, gaduh, dan penuh dengan tawa sukacita. Makanan ini konon katanya membawa berkah, makanya saya berusaha mendapatkan walau hanya sebuah.

Setelah gunungan kue keranjang diperebutkan, suasana di Pasar Gede masih dipadati pengunjung. Ternyata mereka menunggu pertanda tahun baru Imlek dimulai. Di ujung Barat jembatan dipasang sebuah gapura yang mempertegas Pasar Gede sebagai icon Pecinan Solo.

Sementara di seberang pasar tampak lampion bergambar shio tahun Imlek berlangsung. Lebih kurang 1400 lampion menghiasi kawasan Pasar Gede saat Imlek.

Tak pelak, kawasan Pasar Gede menjadi semakin meriah. Para pengunjung berbaur ke jalanan untuk mengabadikan lampion.

Bola lampion merah memenuhi sepanjang jalan di depan Pasar Gede. Ada yang ditata memanjang, melintang maupun membujur dekat jalan. Ada pula lampion yang disusun melingkar bertumpuk di atas menara jam Pasar Gede.

Beberapa lainnnya menggantung di sepanjang bangunan, berbaris melintang di atas sungai, bahkan disusun rapi bak tirai raksasa di dekat jembatan. Imlek di Solo memang selalu berkesan, dari ritual percampuran etnis Jawa dan Tionghoa sehingga menambah keindahan di jantung kota budaya ini.(*/red Slo)

Berita Terkait

Baca Juga